Lalu sampai kapan diri ini bertahan? Jalanan semakin terjal saja rasanya. Langkahpun mulai terhambat barang ada kutu disela-sela jari. Kutu yang kian hari kian merajut benang-benangnya hingga bau busuk muncul dari ini kaki.
Bukan malunya yang jadi penghalang, tapi sakit yang dikandung badan kian tak tertahankan. Sakit yang kian hari kian parah dengan tanpa penyembuhan walau tahun telah berganti.
Bukan hanya kaki, api sekujur badan. Jiwa raga tak lagi bertahan dengan rasa sakit ini. Hanya bisa berharapkan lantunan yang terucap ditiap hari. Sayang meski tahun silih berganti, tapi diri tak pernah berubah. Selalu saja berkutat dengan perihal masalah yang sama. Mungkin memang diri ini tak dibolehkan bahagia. Ataukah memang tak ada kebahagiaan yang patut dikandung diri?
Bagaimana bisa berbahagia jika tawa saja dilarang. Hanya amarah dan kebosanan yang menyelimuti badan. Senyumpun hanya semenit.
Duniaku tak seindah dikat orang. Selalu porak dan poranda ditiap mata memandang. Perubahan yang kuharap takkan pernah terlimpahkan. Jika masing-masing merasa benar.
Aku hanya berharap akan kebahagiaan dan ketenangan. Dimana semua orang berlapangkan dada. Mau bersendu dan bergurau layaknya lembu. Saling membuka tangan untuk disinggahi, walau busuk rasa ini badan.
Selingan usaha hanya membuat becek diri ini. Becek akan peluh yang sia-sia. Tuhan.. Kapankah peluh ini bisa berakhir? Apakah engkau bersamaku tuhan? Ataukah engkau sudah jauh meninggalkanku? Aku rela tidur dipangkuanmu tuhan, aku hanya merindukanmu..
No comments:
Post a Comment